Lelaki Menulis Cinta

12 Sep

KEKASIHKU,

Adakah yang lebih menyiksa daripada kesepian? Kau pasti heran, atau bahkan tak percaya, bagaimana di kota yang hingar-bingar ini aku bisa merasakan kesepian yang teramat kejam mengoyak-ngoyak perasaan. Atau mungkin kau berpikir, “kegilaanku yang sediakala” datang dan menyerang. Tidak Sayang, aku tak segila dulu meskipun melankoli yang menjebakku kali ini jauh lebih dahsyat daripada yang dulu. Apakah kau masih selalu mengatakan, “Lelaki tak boleh melankolis!”? Ah, seandainya kau jadi lelaki, niscaya kau mengenal dengan baik makhluk yang bernama melankoli itu: ia tak berjenis kelamin dan karena itu bisa memesrai baik perempuan maupun lelaki.

TUUUTT… tutt… tuuuutt….

Lelaki itu menghentikan tarian jemarinya pada keyboard laptopnya. Bunyi telepon itu mengganggu.

“Hallo?”

“Maaf, Pak. Pak Agus dan Pak Arief mau meng-hadap. Apakah Bapak bersedia menerima?”

“Suruh mereka masuk.”

Pintu dibuka. Dua orang lelaki masuk. Lalu mereka bertiga duduk berhadapan di sofa, me-ngelilingi sebuah meja pualam kecil, di bagian lain ruangan itu.

“What’s the monster, Men?”

Lelaki itu selalu menyebut masalah yang tak terselesaikan di newsroom dan tak bisa didiskusikan secara interaktif di komputer dengan kata “monster”.

Pak Agus, Kepala Redaksi di perusahaan pe-nerbitan itu, menjawab.

“Laporan yang akan kita turunkan minggu depan, Pak. Ternyata masih menimbulkan polemik di jajaran redaksi.”
Pak Arief, Redaktur Pelaksana, segera menyerahkan berkasnya.

Lelaki itu membaca naskah setebal 12 halaman tersebut dengan cepat. Ia segera mafhum apa yang menjadi “monster”.
“It’s a big monster,” desisnya.

Lalu, “Bagaimana kalau kita ganti saja dengan tema lain?”

“Tidak mungkin, Pak.” Mereka menjawab hampir bersamaan.

Pak Arief segera menyambung, “Semua media menurunkan masalah ini, dengan perspektif ke-pentingan mereka masing-masing. Apa Bapak ingin kita ketinggalan?”

“So, what’s our interest?”

Mereka menjawab lagi-lagi hampir bersamaan, tapi setengah bergurau.

“Mencerdaskan bangsa berdasarkan Pancasila.”

Semua terbahak. Paras lelaki itu sampai memerah. Di matanya air menggenang. Ia suka sekali gurauan itu rupanya.
Buru-buru ia mengusap mata dan wajahnya dengan sapu tangan. Setelah emosinya mereda, ia baru bicara.

“Dengan mengungkap fakta sejelas-jelasnya, kita akan dengan mudah dituduh tidak mempertimbang-kan kepentingan pihak pemilik modal perusahaan ini. Semua fakta jelas-jelas menyudutkan dia. Tapi jika kita menutupinya, pembaca akan meninggalkan kita. Dan di era euforia reformasi ini, kita akan jadi bahan tertawaan ‘rekan-rekan sesama wartawan’. Jadi, kita pilih jalan tengah saja. Fakta tetap harus diungkap sedetil-detilnya, tapi kita sertakan juga konteks sosial-politik yang melatarbela-kanginya, sehingga tampak seolah-olah bos kita itu melakukannya karena memang ‘mau tak mau’. Sistem yang mendorong dia melakukan itu yang kita persalahkan. See, Men?”

Pak Agus dan Pak Arief manggut-manggut. Mereka sepakat, itu adalah alternatif terbaik di antara pilihan-pilihan yang semuanya buruk.

Setelah dua orang bawahannya itu me-ninggalkan ruangan, lelaki itu kembali menghadapi layar laptop-nya dan meneruskan pekerjaannya.

KEKASIHKU, perempuanku,

Tentu sekarang kau masih mengenalku sebaik kau mengenalku dulu: lelaki yang keras kepala dengan sekeranjang ambisi; keranjang itu ia beri nama “idealisme”. Ketika kita pacaran di semasa kuliah 35 tahun yang lalu, aku selalu bangga dan bahagia mendengarmu menyebutku begitu. Bukan sebutan, yang selalu kauulang dengan nada setengah mengejek, itu yang sesungguhnya terasa mem-bahagiakan. Tapi kenyataan di baliknya: kau mengenalku lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Dan sekarang, setelah 35 tahun, bagaimanakah kau membayangkan diriku?

Keranjang idealisme itu perempuanku, masih kupikul meski warnanya tak seterang dulu. Maklumlah, waktu 35 tahun lebih dari cukup untuk mengubah apa pun. Apalagi buah-buahan di dalam keranjang itu. Ada yang habis kumakan setelah ranum. Ada yang tak sempat kumakan sehingga membusuk dan digerogoti ulat-ulat. Ada juga yang dari dulu tak kunjung masak. Tapi ada juga yang setelah masak dan kumakan tak habis-habis sehingga menjadi menu harian yang akhirnya membosankan.
Yang terakhir itu, kau tahu, ialah pekerjaanku sekarang. Tuhan menciptakan dunia dengan Takdir-Nya. Dan wartawan membangun kembali dunia itu dengan pena. Bila Tuhan yang mengatur segala kejadian, wartawanlah yang berwenang menentukan mana peristiwa yang sebaiknya direnungkan dan mana yang harus dilupakan. Wartawan, kukira semula, dapat menjadi nabi: pembantu Tuhan di bumi yang bertugas menjabarkan kehendak-Nya kepada umat manusia setelah rasul tak ada lagi. Betapa mulia tugas itu, namun betapa naif perkiraanku.

Bergelut dengan satu pekerjaan selama 30 tahun membuatku berpikir kembali, benarkah jurnalistik berguna bagai nubuwat. Ada sekelumit sinisme di situ, yang timbul dari jarak: kebosanan, mungkin ke-lelahan. Ya kekasihku, apa sebenarnya guna “membangun kembali dunia denga pena”? Untuk mencerdaskan bangsa? Aku sudah lama tidak percaya dengan omong kosong besar itu. Hari-hari wartawan semakin mengukuhkan diri sebagai pe-dagang, bukan pendidik. Ia menjual setiap kata yang disusun berdasarkan fakta, setiap kata yang telah dimiskinkan dari makna, setiap kata yang nyaris hampa belaka, setiap kata yang akhirnya juga tidak bisa dipercaya. Kata-kata wartawan adalah slogan dan bukan puisi–sebab siapakah yang masih sudi membeli puisi? Hi-dup di tengah-tengah kubangan kata-kata yang seperti itu, aku sering kehilangan puisi, suara-suara Hidup yang murni. Alangkah sepi ke-kasihku, alangkah kosong hidup ini tanpa puisi.

TUUUTT… tutt… tuuutt….

Telepon itu mengganggu lagi.

“Hallo?”

“Telepon dari ibu, Pak. Beliau ingin bicara.”

“Ya, sambungkan.”

“Hallo, Papa?”

“Apa kabar, Ma?”

“Baik. Sedang apa sih Papa, kok mematikan handphone segala?”

“Ow, sorry Mom. Papa lagi menulis. It’s really important.”

“O ya. Apa kita bisa makan bersama siang ini? Papa enggak ada janji kan?”

“Mm, sebentar. Papa lihat jadwal dulu. Ya, bisa. Ada apa sih Ma, ‘ngajak makan siang bareng segala?”

“Anu, mama nanti malam ada meeting di Bandung. Jadi, enggak bisa ‘nemani Papa makan malam.”

“Di mana kita ketemu?”

“Di tempat biasa aja Pa. Mama sudah pesan meja kok.”

“Okey, pukul 12.15 di tempat biasa.”

“Da, Papa.”

Lelaki itu mengecupkan kedua bibirnya satu sama lain.
Begitu istrinya memutuskan sambungan, ia langsung menekan tombol bicara yang meng-hubungkannya dengan sekretarisnya.

“Saya, Pak?”

“Laksmi, kita enggak jadi makan siang bareng. Bagaimana kalau makan malam? Atau, kamu sudah ada janji?”

“Tidak, Pak. Tidak ada janji.”

“Okey, aku pesankan taksi buat menjemput kamu pukul tujuh nanti. Kita ketemu di tempat biasa.”

Lalu lelaki itu kembali menulis.

KEKASIHKU, perempuanku, cintaku,
Rupanya aku telah menabung kesepian sejak kita berlpisah 30 tahun yang lalu. Sejak kau pergi dari sisiku dan aku pergi dari sisimu, tak ada apa atau siapa yang bisa membantuku melawan kesendirian. Beberapa tahun kemudian aku memang menikah. Mulanya aku mengira rumah tangga adalah sorga, seperti keluarga kakek-nenek kita di desa dulu. Tapi lama-lama aku tahu, di kota macam ini pernikahan adalah jalan kecil dan licin di antara sorga dan neraka menuju ke entah. Jika tergelincir, kita segera jatuh ke neraka. Maka aku mencari apa pun atau siapa pun yang bisa mengalahkan kesepianku di mana saja: pub-pub, kamar-kamar hotel, taman-taman kota. Dan, kau tahu, tak ada.

Begitulah, sampai hari ini aku masih mencari, bahkan ke dalam mimpi. Tapi mimpi-mimpiku selalu hanya berupa sisa-sisa catatan seorang wartawan yang tak sempat dipublikasikan: detil data tentang konspirasi di balik kerusuhan-kerusuhan, caci-maki seorang kiyai, perkawinan gelap seorang menteri, pengakuan gadis keturunan yang diperkosa delapan ten…. Ya, seperti itulah mimpi-mimpiku. Hal-ihwal yang sangat bagus dan berarti bagi seorang wartawan, tapi yang bagiku sekarang sungguh-sungguh memuakkan. Barangkali sudah waktunya aku pensiun. Aku ingin menulis perkara-perkara yang sederhana. Aku akan menulis bagaimana alam mengatur letak batu-batu di sungai kecil di desa sehingga gemericik air itu begitu enak di telinga dan riak-riaknya begitu sedap di mata. Aku akan menulis tentang prasangka jangan-jangan warna laut yang coklat kehitam-hitaman di pantai-pantai kota kita dapat menimbulkan persepsi estetis baru, sensasi baru. Dan tentu saja aku akan menulis puisi seperti dulu, mencuri-curi sisa-sisa aksara yang belum ternoda.

LELAKI itu berhenti menulis. Diteguknya kopi yang mulai dingin pada cangkir keramik biru abu-abu itu. Disulutnya sebatang rokok. Lalu tangannya meraih remote-control dan menyalakan televisi. Gambar-gambar bergerak di depan layar kaca itu: film India. Ia mendengus. Dari mulutnya keluar semacam umpatan dengan suara yang tak teramat jelas, “Huh, pagi-pagi sudah film India.”

Hampir saja ia mematikan televisi itu ketika di layar seorang perempuan membuka pintu kamar pelan-pelan. Paras perempuan India itu, juga caranya membuka pintu, mengingatkannya pada seseorang.

Setelah gambar berganti, ia baru menekan tombol power-off pada remote-control di tangan kirinya. Memori otaknya bekerja membuka file dengan nama tempat dan tanggal: New Delhi, 25 Desember 1995. Ia, bersama seorang perempuan muda asal Pakistan, berbicara di sebuah simposium tentang Jurnalisme dan Feminisme. Lalu di antara mereka terjadi per-kenalan. Lalu semacam keintiman. File-file lain pun terbuka dan tertutup silih berganti di benaknya, tentang pertemuan-pertemuan, tetapi bukan simposium.

Sudah 5 bulan 12 hari ia tak bertemu dengan perempuan itu. Tiba-tiba lelaki itu merasakan se-macam kerinduan bergolak di dadanya. Ia ingin meneleponnya. Tapi ketika jarinya siap menekan angka-angka di telepon (otaknya menghafal dengan baik nomor telepon sebuah LSM di New York, tempat perempuan itu biasa berada), ia malah ber-alih ke keyboard laptop-nya dan menyelesaikan suratnya.

KEKASIHKU, satu-satunya yang bisa memahami dan mencintaiku,

Datanglah padaku. Beri aku keberanian. Akan kutinggalkan tahta di kerajaan pers ini. Aku tak ingin jadi raja. Aku tak bisa. Aku akan pulang ke rumahmu. Datanglah. Beri aku kekuatan. Akan kutanggalkan segenap popularitas ini. Aku mabuk. Aku akan tidur dalam selimutmu saja. Datanglah padaku. Beri aku cinta. Biar kualirkan seluruh sisa hidupku ke kakimu. Datanglah. Aku hanya bisa mencintaimu.

LELAKI itu merasakan kelegaan yang luar biasa begitu kalimat terakhir itu selesai ditulis.

Lalu ia tercenung, lama sekali.

Lalu ia menghapus file surat itu.

Lalu hatinya hati-hati bertanya, “Di manakah kamu kekasihku? Siapakah kamu?

4 Tanggapan to “Lelaki Menulis Cinta”

  1. khariskhasbulloh September 15, 2009 pada 3:05 am #

    ok keren bro…
    salam kenal ya.

  2. kawanlama95 September 16, 2009 pada 3:02 am #

    ketika kita memangil cinta, sebuah renungan untuk kita yang dilanda cinta dan cinta itu adlah kepada sang kekasih tercinta

  3. regsa September 21, 2009 pada 4:49 pm #

    Saya memebaca cerpen ini ampe 2 kali.
    lelaki yang ‘mengembara’ kesana kemari tapi tetap terus kesepian .maaf kalo kesimpulan saya salah

    Salam

  4. cha Juli 30, 2010 pada 4:40 pm #

    hmmmmmmmmmmmm, keren !!!
    wanita it da dihadapanmu, liat senyumnya : )
    menggoda kan ???

Tinggalkan Balasan ke khariskhasbulloh Batalkan balasan